Batu Runcing Menghunjam ke Dasar Hati



Pernah dengar Batu Runcing? Pastinya hanya sebagian kecil yang tahu dan bahkan banyak orang yang tidak mau tahu. Ia adalah potret teman setia yang selalu menjaga Gunung Talang sebuah gunung yang berada di wilayah Kabupaten Solok. Di punggung gunung itu, ada sebuah bukit yang di puncaknya berdiri dengan kokoh sebuah batu yang runcing, mirip dengan tugu. Kalau di lihat dari jauh ia bagaikan tiang yang memancang.

Apa istimewanya batu ini, bagi sebagian orang tentu tidak ada artinya. Ia hanya sesosok batu yang tumbuh di semak belukar, karena posisinya di tempat yang tinggi ia bagaikan punggawa menjaga istana yang sedang berdiri mengangkang. Ia dulu hanya sebagai persinggahan bagi anak-anak petualang yang mendaki Gunung Talang. Setelah puas memandang ke alam sekitar yang terlihat jelas dari puncak itu, kemudian batu itu ditinggalkan begitu saja.

Tapi bagiku ia menjadi monumen bersejarah, yang terpasak ke bumi dengan eratnya. Ia menjadi bagian masa kecilku. Di sana berdiri segenap rasa yang menggetarkan buliran sukma. Di batu runcing masa kecilku terukir oleh angin semilir dan hijaunya rerumputan. Di belakangnya berdiri sang Gunung Talang dengan congkaknya, menjadi saksi sang angin yang mengurai helai rambutku, menjadi teman sang bayu yang menerpa wajahku.

Di Batu Runcing itu, aku menyaksikan bidadari menari turun dari gunung. Aku terpaku dengan sikap siaga, melambaikan bendera dengan sandi morse, mengenal kasih dengan isyarat, melahap cinta dengan lambang. Di situ kusematkan seluruh simpul, mengungkapkan bahasa dengan kode.

Ketika itu aku masih SMP, terlalu anyar menangkap sinyal dan aku pun tak mampu mendayung biduk ke gunung. Tapi ...rasa itu tumbuh sekokoh batu runcing. Di dinding batu itu terukir kisah sang bidadari, menceritakan senyum dan keelokannya menari. Mengurai kata dengan gelak tawa. Bukan main, batu runcing menghunjam ke dasar hati.

Setelah dewasa, Batu Runcing tidak lagi dilingkari semak berduri, ia sudah menjadi perkebunan teh yang asri, pemandangan di sekelilingnya menjadi indah, seindah bidadari yang juga tumbuh dewasa. Aku mendapat kesempatan mengabadikannya dengan membeli kawasan itu. Jadi lengkaplah ia, batu runcing, menjadi aset hidupku.

Tapi bidadari tidaklah seperti Batu Runcing, ia tidak bisa kujadikan aset hidup, namun ia tetap berdiri kokoh dalam kenangan. Lama nian bidadari tak singgah, Batu Runcing tetap menunggu dengan sabar. Ia rindu tarian melayang sang bayu, ia kangen riuh tawanya sang angin, ia pun ingin melihat warna senyum pelangi. Hanya burung-burung kecil yang setia menyanyikan lagu harapan, dan hanya itu yang membuat Batu Runcing tetap perkasa.

Komentar

Anonim mengatakan…
BATU RUNCING
adalah saksi
betapa diriku yang tak pernah mengerti dengan semua ini,,,,
Terlambat aku untuk pahami betapa rasamu,,,betapa katamu,,yang ternyata terukir abadi hingga kini,,,,
so sweet dan hebat buat kalian brdua...rasa lalu adalah energi masa kini...bagi energi itu tuk semangati generasi depan...semoga abadi energinya....

Postingan populer dari blog ini

Perih Sayatan

Kau Terlihat Anggun Hari Ini