Tangkai Sapu Patah di Kaki

Nggak pernah terbayang sebelumnya. Ketika aku libur sekolah, aku mengunjungi orang tuaku yang mengajar di kawasan yang jauh dari kota. Maklum daerah terisolir (waktu itu). Alam tempat bapakku mengajar sangatlah indah. Di kawasan pertanian, dikelilingi bukit dan sawah-sawah luas membentang.

--- ---
Orangtuaku tinggal di sebuah komplek rumah guru. Tidak berjarak dengan sekolah di mana bapakku mengajar. Di sekitar itu, merupakan kawasan yang banyak dihuni orang-orang Jawa, bukan transmigrasi. Akan tetapi orang Jawa yang sejak zaman penjajahan Belanda yang berkerja sebagai rodi. Mereka hidup turun-temurun di sana. Bahkan banyak keturunannya yang sudah tidak tahu dari Jawa mana mereka berasal. Bahasa sehari-hari ya bahasa Jawa ngoko.

Tepatnya kawasan itu tidak jauh dari perbatasan antara Propinsi Sumatera Barat dan Jambi. rumah-rumah di sana sangat berjarak. Antara rumah ke rumah terkadang jaraknya sejauh mata memandang. Meski berjauhan, penduduknya tetap kompak. Anak-anak SD (terutama laki-laki), sering menginap di tempat orang tuaku tinggal. Mereka mengaji dan belajar di sana. Maklum kalau di rumah pasti lebih banyak tidur dari pada belajar. Karena listrik belum ada di sana ketika itu.

Masa libur itu anak-anak sekolah di sana seizin orangtuanya masih betah menginap di rumah orang tuaku. Mereka juga membantu Bapak untuk bersawah dan berladang. Maklum, karena tinggal di kawasan pertanian Bapakku pun ikut bertani sepulang mengajar di sekolah.

Yang paling asyik dari mereka adalah mengajariku memancing belut di sawah. Di sana aku pertama kali kenal dengan belut sawah, karena dikampungku yang berhawa dingin di Gunung Talang tidak ada belut. Daging belut terasa gurih dan enak setelah di goreng atau dipepes. Jadilah ia makanan kesukaanku. Kata Bapak belut pun kaya protein.

Karena ketagihan, suatu kali aku benar-benar asyik dengan teman-teman memancing belut. Tidak saja di sawah yang di garap Bapakku, akan tetapi juga ke sawah-sawah petani lain. Tidak disangka aku sudah berjalan terlalu jauh dan lupa segalanya. Aku lupa makan siang dan lebih parah Shalat Zuhur dan Ashar juga ikut-ikut terlewat.

Sepulangnya aku bersama kawan-kawanku memancing belut, yang sampai di rumah sebelum magrib. Bapakku turun dari rumah sambil memegang sapu. Beliau menyongsongku, aku tak menyangka sedikit pun, tiba-tiba tangkai sapu yang terbuat dari rotan itu melayang ke kakiku tanpa didahului satu patah katapun.

"Praaak", tangkai sapu itu hinggap di kakiku.

Patah! Bukan kakiku, tapi tangkai sapu itu. Aku malu sama teman-teman. Aku sedih dan tidak tahulah perasaanku waktu itu. Aku pikir Bapak akan senang dengan banyak membawa tangkapan belut pulang. Tapi malah sebaliknya.

Aku dan teman-teman di suruh mandi dan kami bersiap shalat magrib. Dari mandi sampai Shalat Magrib aku tak berkata sepatah katapun. Aku masih sedih dan tidak tahu salahku. Aku hanya menduga-duga dalam hati.

Setelah shalat magrib berjamaah, Bapakku baru menasehati kami dengan lemah lembut.
"Tahukah kalian, kenapa Bapk murka?" Kata Bapak memulai nasehatnya.

Kami menggeleng, karena kami tidak mengerti.

"Kalian sudah berani kepada Allah SWT. Pasti karena bermain kalian lupa shalat, iya khan?"

Kami juga menjawab," iya."

"Itu saja," kata Bapak.

" Kalau soal kalian makan atau tidak, itu soal kalian yang akan merasakan kelaparan. Tapi soal tidak sholat itu ibadah kepada Allah SWT. Jangan main-main. Nanti kebiasaan, hingga dewasa atau tua kalian akan bersikap seperti itu.," lanjut Beliau.

Itulah Bapakku, keras dan tegas mendidik anak agar tidak bermain-main dengan Allah SWT. Tapi soal keduniaan diserahkan kepada masing-masing. Toh lambat laun akan mengerti. Kisah itu selalu bermain di benakku sampai sekarang. Sehingga aku takut kalau-kalau aku melanggar perintah Allah SWT.

Kini, bukan karena takut pukulan rotan Bapak. Tapi takut kalau Allah SWT yang murka. Apa jadinya diriku kalau Allah SWT yang murka. Bisa-bisa garda malaikat menghajarku di akhirat nanti. Nauzubillah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perih Sayatan

Kau Terlihat Anggun Hari Ini

Batu Runcing Menghunjam ke Dasar Hati